Perjalanan mudik lebaran

Perkenalkan, nama saya Emde, kali ini saya akan menceritakan kisah saya melakukan sebuah ritual tahunan bernama Mudik Lebaran kemarin. Kalau soal jarak dan kendaraan yang saya gunakan, yah sebut saja itu hobi.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari perjalanan saya ini. Konon, ada juga orang setolol saya yang juga melakukannya bahkan dari Bali ke Aceh yang 4000 km lebih jauhnya. Sedangkan saya dari Yogyakarta menyusul ke rumah istri saya di Lampung utara sana, yah, enggak jauh-jauh amat kalau naik sepeda motor. Hanya berjarak 1000-an km, hanya sepelemparan cawet. Cawetnya Thor.

Istri saya, Nisha, sudah ada di kampung halamannya sejak awal puasa, jadi nya saya hanya sendirian, tidak bisa gandengan seperti truk-truk barang yang sering saya salip.

Motor yang saya pakai tidak terlalu tua, begitu juga saya. Jam lima pagi, saya mulai melaju kencang ke arah Barat. kecepatan tak lebih dari 70 km karena CVT motor Mio Soul pemberian mertua baik hati yang saya gunakan ini memang agak berisik. Tak apalah, sebagai menantu yang baik tentu saja harus bersyukur walaupun dari desas desus yang aku dengar pemilik sebelumnya mengalami kecelakaan, dan karena dianggap bawa sial maka dijual ke mertua saya.

Sampai di perbatasan Jawa tengah-jawa barat saya berhenti di sebuah warung kelapa muda dan bergabung dengan beberapa pemudik motor yang lain. Obrolan basa-basi mulai terjadi, mulai dari nanya asalnya dari mana, kerja apa, tinggal di mana, akan ke mana, dan berbagai decakan kaget atas kenekatan saya muncul dari mereka.

“Mudik Lebaran dari Yogya ke Lampung pakai motor sendirian? Kamu benar-benar tolol Mas,” begitu kata mereka dalam hati.

Tentu saja itu kira-kira saya saja berdasarkan wajah yang mereka tunjukkan ketika mereka bilang; “Hati-hati ya Mas”.

Setelah 10 jam perjalanan dari kota gudeg, dan berhenti dua kali selanjutnya saya baru tersadar, dari semua obrolan dan pertemuan dengan macam macam orang tak satu pun dari mereka yang menanyakan nama saya siapa. Bagi mereka nama saya tidak penting, yang lebih penting adalah perjalanan saya sebagai “pemudik lebaran” dengan jarak yang begitu jauh. Sial memang, hiks..

Saat mau menyeberang ke Sumatra saya dapat informasi penting dari seorang sopir truk. Awalnya, seperti puluhan orang yang pertama kali saya kasih tahu rute mudik Lebaran saya, si sopir kaget kenapa saya nekat naik motor. Padahal di daerah Sumatra sangat rawan. Cerita si sopir, dia pernah hampir dibunuh oleh preman karena melawan saat diminta uang.

Saya memperhatikan wajah si sopir truk. Wajah sesangar dia, ada bekas luka, rahang besar, dan kekar begitu saja dipalakin preman, apalagi saya yang punya wajah bulat dan unyu-unyu gabungan formasi fusion Herman dan Satria begini. Bisa dioseng-oseng hidup-hidup saya.

Memasuki  sebuah bekas kapal pesiar dari Jepang yang sudah jadi kapal angkutan biasa membuat saya berdecak kagum. Mungkin pada masa jaya kapal pesiar yang saya tumpangi ini, dulunya memang mewah. Begitu masuk di lantai tiga saya disambut oleh sebuah ruangan karaoke, game center, sebuah televisi berlayar besar di aula. Saya terus berjalan menuju sebuah ruangan tidur gratis untuk siapa saja termasuk saya. Sedangkan lantai di atasnya terdapat lantai untuk orang yang lebih berduit dengan fasilitas hotel bintang lima.

Tentang kemewahan itu, saya pikir kalian bisa coba sendiri. Akan tetapi yang menarik sebenarnya bukan di situ. Dari semua yang ada di kapal “mewah” itu, hampir 90 persen penumpangnya adalah sopir truk.

Lalu sekitar 5 persen adalah sopir mobil baru tanpa plat nomor. Mereka dibayar cuma untuk menaikkan mobil-mobil baru ke dalam kapal kemudian mengeluarkannya. Sedangkan 5 persen sisanya adalah orang-orang seperti saya. Pengendara kendaraan pribadi yang sedang ingin mudik Lebaran.

Sudah sejam menunggu tapi kapal belum ada tanda-tanda mau berangkat. Seharusnya sesuai jadwal jam 03.00 sore ini kapal sudah jalan. Saya mulai gelisah, begitu juga para pemudik lainnya, sedangkan para supir itu anteng-anteng saja. Sebagian tidur, sebagian lagi entah kemana.

Saya lalu bangkit ingin kencing. Kamar mandi di kapal ini ternyata banyak dan salah satunya kamar mandi onsen. Alias kamar mandi model Jepang yang harus telanjang jika ingin mandi air panas di dalamnya. Tentu saya urung masuk, bayangan saya telanjang berada di tengah tengah sopir-sopir truk dengan wajah angker dan telanjang membuat saya mengkeret.

Saya lalu ke kamar mandi lain. Namun, kali ini saya harus curiga karena kamar mandinya sangat sepi tapi keran air menyala, mungkin sebagai tanda ada orang di dalam. Pikir saya waktu itu, kamar mandi super sempit kaya begini tidak mungkin dipakai untuk mandi.

Mungkin mereka boker dan saya iseng menundukkan kepala mengintip kaki mereka. Astaga kenapa kaki-kaki mereka pada posisi berdiri semua. Jika sedang boker kan harusnya tidak begitu, jika hanya kencing kenapa lama sekali? Saya mundur perlahan teratur dan tepat di belakang saya ada seseorang sebaya.

“Nungguin kamar mandi juga ya, Mas?” kata orang ini.

Saya mengangguk.

“Lama bakalan. Mereka semua lagi coli, Mas.”

(((Coli)))

Serius? Di kapal laut? Di atas laut begini?

Saya hampir saja ketawa ngakak mendengarnya, lalu mendadak hilang kebelet saya. Saya keluar dari sana karena tidak nyaman. Orang di sebelah saya akhirnya ikut keluar. Ternyata emang betulan lama nungguin para sopir truk itu selesai.

“Mereka sering begitu, Mas. Apalagi kalau habis lihat di televisi ada artis cantik dan seksi gitu, mereka akan menyerap sebagai ingatan lekukan lekukan tubuh untuk dijadikan khayalan saat coli.

Brengsek, kata saya dalam hati. “Oh, begitu tho,” kata saya dari mulut. Tapi tentu saya juga paham, enggak semua sopir begitu.

Kami pun akhirnya ngobrol ngalor ngidul. Ia agak kaget ketika tahu saya dari Jogja dan hanya sendirian, bukan di Jakarta. Aku pun jelaskan kalo aku merantau ke Jogja karena disana ada toko milik uwa saya yang menganggur, maklum orang tuaku adalah transmigrasi. Aku jelaskan juga pernah coba di Jakarta tapi tidak kuat dengan harga sewanya yang melambung tinggi, setinggi harga sembako kalo bulan puasa dan lebaran.

Maghrib sudah datang, tapi belum juga ada tanda-tanda kapal mau berangkat. Beberapa penumpang nampak ribut dengan petugas. Si penumpang menjerit-jerit histeris karena dia harus segera pulang berkumpul dengan keluarga. Saya hanya melihat dari kejauhan, begitu pula dengan sopir-sopir lain. Hal yang sangat berbeda dengan sopir-sopir yang hanya santai saja menanggapi keterlambatan keberangkatan kapal. Tidak terdengar protes sama sekali.

Tentu bukan berarti mereka tidak punya keluarga yang menunggu untuk berlebaran. Tapi bagi mereka, terlambat begini sudah risiko perjalanan, jadi mereka sudah bisa legowo menerimanya. Slogan para sopir kan sederhana; “Nek kesusu budalo wingi mas!”  (Jika buru-buru, berangkatlah kemarin, Bung!)

Akhirnya kapal berangkat juga jam 10 malam, luar biasa, setelah 7 jam delay menganggur buta tidak ngapa-ngapain selain coli. para sopir itu hanya berkomentar “Ealah, jadinya berangkat benar ini kapal”.

Yah, itulah kisah perjalanan ku dari Jogja sampai pelabuhan merak. Sedangkan dari pelabuhan Bakauheni Lampung sampai rumahku aku ceritakan kapan-kapan ya.

6 tanggapan untuk “Perjalanan mudik lebaran”

  1. Heemm!! Penyebab kapal nggak berangkat mungkin yaa itu karena ada siEmde didalam kapal itu..😂😂😂 coba kalau nggak ada pasti kapal itu udaj berangkat dari setadi…

    Terakhir mungkin tuh kapal nggak jalan karena siEmde berjulukan Raja Coli…Terbukti pengikutnyapengikutnya banyak yang betah dikamar mandi..😂😂😂

    Suka

Tinggalkan komentar